Kamis, 28 Oktober 2010

Iman Sejati vs Iman-iman Palsu

gr.abnerpanjaitan

Iman sentral dan vital adanya. Mazmur 37.3-5 mengajarkan bahwa percaya kepada Tuhan adalah dasar yang memungkinkan orang untuk setia dalam Tuhan, berlaku baik, memiliki kehidupan yang bergembira dan membuatnya mengalami campur tangan Tuhan di tengah tekanan kondisi zaman yang tidak benar. Habakuk 2.4.b yang lahir dalam kegoncangan moral spritual Habakuk, dengan indah menegaskan pengakuan bahwa iman orang benar adalah proses hidup beriman. Pengajaran penting ini kemudian ditemukan kebenarannya oleh Martin Luther dalam kegelisahan rohaninya bahwa iman, bukan kondisi moral spritualnya, yang membuat dia dan semua orang beriman dibenarkan oleh Allah di dalam karya Yesus Kristus. Surat Ibrani mengabdikan seluruh pasal 11 untuk menguraikan penting dan vitalnya iman disertai banyak contoh para tokoh iman Perjanjian Lama.
Dalam perspektif Petrus, iman mendapatkan kedudukan fondasional (2 Petr 1.5-10). Iman adalah dasar atau awal dari seluruh pertumbuhan keikutsertaan orang terhadap Yesus Kristus yang meliputi pembaharuan segenap aspek hidup manusia sampai pada puncak dalam kasih ia semakin mengenal Yesus Kristus dan dengan penuh hasrat melayani Dia saja. Demikian juga pemahaman Paulus, dimana iman merupakan salah satu dari esensi kekristenan yang bersama dengan pengharapan dan kasih sering juga disebut sebagai kebajikan-kebajikan teologis (1 Kort 13.13).
Alasan lain mengapa kita sekarang sangat perlu menghayati iman dengan jelas dan benar adalah adanya pergumulan zaman yang berbeda dari zaman kini. Pada era modren, beriman sama dengan kebodohan, kelemahan, tidak rasional, kurang intelek. Dalam era kita ini, era pascamodernisme sedemikian menggandrungi segala macam pengalaman iman, kecuali iman yang berpautan setia kepada Yesus Kristus dan pernyataan Allah dalam Alkitab. Kita perlu pemahaman dan penghayatan iman yang mampu berbicara secara bermakna terhadap kontreks zaman kita kini yang pascamodern.
Hal-hal yang sangat vital dan esensial tidak boleh kita andaikan seolah pasti kita sudah mengetahuinya dan menghayatinya dengan benar. Alkitab penuh dengan contoh dan peringatan bahwa kerap kali umat Tuhan kedapatan dalam posisi tidak beriman atau dalam kondisi beriman lemah. Sebagai pemimpin, aktivis, anggota jemaat kita wajib memastikan bahwa kita tidak tergolong para nabi palsu yang memberikan janji-janji bohong kepada orang banyak (Yer 23.16-17; 2 Tim 3.7). Ada bahaya lunturnya iman kita saat ini seperti ungkapan-ungkapan yang dipakai oleh Stephen Covey tentang bergesernya tekanan dari IQ (Intelligence Quotient, yaitu kecerdasan intelektual) ke EQ (Emotional Quatient, yaitu kecerdasan emosional) SQ (Spritual Quetional, yaitu kecerdasan rohani). Ada bahaya masuknya mistisme naturalis dan mistisisme okultis ke kalangan Kristen yang berspirit keterbukaan. 
Dalam tulisan ini ingin mengajak kita mendalami apa sebenarnya iman menurut ajaran Alkitab dan butir-butir kebenaran apa saja yang harus kita pelihara secara sungguh-sungguh. 
Yang mengimani dan diimani. Alkitab lebih banyak menggunakan kata kerja beriman, percaya, memercayakan diri-baik dalam PL maupun PB daripada kata benda "iman". Ini menunjukkan bahwa perhatian Alkitab bukan sekadar ditunjukan untuk membuat orang tahu apa iman sesungguhnya, tetapi untuk mendorong agar sungguh-sungguh memiliki iman yang hidup kepada objek yang benar. Dalam Alkitab, ada hubungannya antara iman, aman, amin. Memang ketiga kata tersebut berasal dari akar kata yang semua dalam bahasa Ibrani sehingga ada keterkaitan pengertian antara ketiganya. Iman adalah keteguhan, kestabilan, kemantapan, baik di dalam sikap orang yang memercayakan diri kepada Allah maupun dalam kekokohan kesetiaan Allah dan kebenaran janji serta sifat-sifat Allah. Iman sendiri bukan pencipta rasa aman atau keselamatan atau pengalaman lain yang Tuhan karuniakan. Iman hanyalah alat yang menghubungkan penerima dengan sumber keselamatan, pengudusan, dan pemeliharaan Tuhan. Iman dalam Alkitab ditumpukkan pada kenyataan bahwa Allah adalah pencipta, pemelihara, dan penyelamat terpercaya. Aspek objektif iman adalah dasar dari iman sejati. Iman sejati tidak bertumpu atau berpusat pada adanya kemauan kuat dorongan perasaan, kesungguhan diri seseorang, tetapi tertuju dan bertumpu pada kesetiaan Allah(faithfulness), kebenaran janji-janji Allah dan kebenaran Allah seperti yang Ia ungkapkan dalam firmanNya. Bagaimanapun kuat, sungguh, mantap iman kita namun apabila ditunjukkan bukan kepada tumpuhan iman yang benar, tidak akan terjadi tarian hidup iman. Yang terjadi hanyalah hentakan-hentakan pemaksaan kehendak, emosi, insting religius semata yang terbelit oleh kesendirian dan kebigungan. Tumpuhan objektif iman Kristen bukan ide-ide yang mati, tetapi Allah yang hidup dan yang berkarya dalam PutraNya Yesus Kristus yang mengundang dan memimpin kita mecari dalam pimpinanNya. Iman sejati selalu ditunjukkan kepada Allah dan bukan ke dalam kapasitas dan potensi diri sendiri. 
Lahir dan tumbuhnya iman. Dalam pengertian iman dan percaya adalah hubungan nyata seseorang dengan Allah, maka iman diawali bukan dari diri orang itu, tetapi dari karya penyelamatan Allah dalam diri orang tersebut. Memang dari perspektif pengalaman yang kita sadari bertobat dan percaya mendahului pengalaman aspek-aspek keselamatan. Dalam teologi reformasi paling tidak ada dua tindakan Allah dalam lingkup waktu kita, yang membuat kita mampu merespons Dia dengan iman, yaitu panggilan berdampak dan kelahiran baru. Mengikuti tradisi Calvinisme, Harun Hadiwijono menegaskan bahwa harus datang prakasa dari Allah sendiri agar orang bisa masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Prakarsa itu adalah panggilan yang tidak hanya menawarkan, tetapi juga menarik agar orang pindah dari dalam gelap ke dalam terang Kerajaan Anak-Nya(Kol 1.13). Sesudah prakarsa dan karya Allah ini kita alami, kita mampu beriman dan mengalami buah dari janji-janji iman yaitu; pembenaran, pertobatan, pengampunan, pengangkatan sebagai anak-anak Allah, pengudusan dan kelak pemuliaan(Roma 8.30). Iman tetap merupakan sikap, keputusan tindakan manusia yang menjadi tanggung jawab masing-masing orang yang mendengarkan panggilan Injil untuk berespons demikian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar